Luwu Raya

Perang Dagang Global Dimulai: Dunia Menuju Seleksi Alam Ekonomi Baru

×

Perang Dagang Global Dimulai: Dunia Menuju Seleksi Alam Ekonomi Baru

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yustus Bunga, SP – Jurnalis dan Pemerhati Geopolitik Ekonomi Sosial

Luwu Raya, ambar-news.com – Selama ini teori-teori ekonomi dengan segala variannya hanya menjadi materi diskusi di ruang kelas. Mahasiswa diajak memahami mekanisme pasar bebas, intervensi negara, dan titik keseimbangan permintaan-penawaran. Tapi kini, teori itu sedang diuji di medan perang nyata: perang dagang global.

Bukan sekadar kompetisi dagang biasa. Dunia menyaksikan ketegangan terbuka antarnegara adidaya—Amerika Serikat dan Tiongkok—yang saling menjatuhkan sanksi, tarif, dan embargo teknologi. Ini adalah geopolitik dalam format ekonomi. Pelurunya bukan misil, tapi kebijakan ekspor, tarif tinggi, pembatasan bahan baku, dan perang mata uang.

Negara berkembang? Mereka tidak tinggal diam, meskipun yang bisa ditembakkan hanya kembang api. Petasan ekonomi, sekadar menjadi gema simbolik dalam arena perang raksasa. Mereka tetap ikut bersorak, ikut “berperang”, tapi sejatinya hanya jadi penonton dalam pertempuran para raksasa.

Negara berkembang terdampak langsung. Seperti diungkap dalam World Development Report 2023 oleh Bank Dunia: “Negara-negara berpendapatan menengah dan rendah menghadapi risiko keterpinggiran dari rantai pasok global akibat gejolak geopolitik dan fragmentasi perdagangan.”

Indermit Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, menambahkan bahwa fragmentasi global menyebabkan penurunan investasi lintas negara dan mempersempit akses teknologi.

Skenario ini datang bertahap. COVID-19 memukul dunia tanpa ampun. Negara dengan sistem yang rapuh runtuh lebih dulu. Seleksi alam dalam bentuk paling brutal: ekonomi lumpuh, sosial melemah, bisnis tumbang. Setelah itu datang disrupsi digital—AI, otomatisasi, platform digital—yang mendisrupsi pekerjaan lama dan mempercepat ketimpangan.

Kini, dunia masuk babak baru. Fragmentasi perdagangan yang disebut IMF dalam World Economic Outlook Oktober 2023 dapat menurunkan output ekonomi global hingga 2,5% dalam jangka menengah.

Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, bahkan memperingatkan: “Pemisahan ekonomi global dapat menciptakan blok-blok ekonomi yang saling bersaing dan mengurangi efisiensi global secara keseluruhan.”

Artinya, dunia tidak lagi satu pasar. Tapi terbagi: antara blok Barat dan blok Timur. Negara yang tidak punya posisi tawar akan tergencet di tengah.

Indonesia? Negara kita berpotensi terdampak. Ketergantungan pada impor teknologi, bahan baku industri, serta ekspor komoditas mentah menjadikan posisi tawar kita lemah jika tidak segera memperkuat hilirisasi dan kedaulatan ekonomi.

Seperti disampaikan Faisal Basri, ekonom senior Indonesia, dalam wawancara dengan media nasional awal 2024: “Hilirisasi itu soal harga diri. Kalau kita terus menjual bahan mentah, kita akan tetap jadi penonton dalam panggung industri global.”

Di sisi lain, dunia usaha lokal dan UMKM juga terdampak oleh volatilitas harga, perubahan rantai pasok, dan fluktuasi nilai tukar. Hanya bisnis yang mampu beradaptasi secara digital, efisien, dan tangguh yang bisa bertahan.

Ini adalah fase seleksi alam global. Versi modern. Tanpa darah, tapi sangat mematikan. Negara, korporasi, bahkan individu yang tidak tanggap terhadap perubahan zaman akan terpinggirkan, bahkan musnah.

Belum selesai dari pandemi, disrupsi digital datang menggulung. Mereka yang tak siap, digilas. Revolusi industri 4.0 hingga kecerdasan buatan membuat sistem lama kehilangan relevansinya. Dunia usaha dipaksa beradaptasi dalam waktu singkat, atau tertinggal dalam pusaran teknologi.

Kini, perang dagang menjadi fase berikutnya dari seleksi global. Dunia sedang disusun ulang. Tata ekonomi internasional yang dulu berpijak pada globalisasi dan kerja sama multilateral, kini berubah jadi arena adu kekuatan nasionalisme ekonomi. Semua negara, terutama yang besar, mulai kembali pada prinsip survival of the fittest.

Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang tumbuh paling cepat, tapi siapa yang paling tahan menghadapi guncangan. Bisa jadi itu manusia yang adaptif, negara yang punya kedaulatan pangan dan teknologi, atau entitas bisnis yang lincah membaca arah angin dan bersikap strategis.

Ketimpangan global akan semakin tajam. Mereka yang lemah bukan sekadar terpinggirkan, tapi benar-benar musnah—baik secara ekonomi, sosial, maupun eksistensial. Ini adalah bentuk lain dari seleksi alam. Versi modern. Tanpa darah, tapi mematikan

Kita sebagai bangsa perlu sadar, bahwa “perang dagang” ini bukan sesuatu yang jauh dari dapur rumah. Harga bahan pokok, nilai rupiah, pengangguran, dan daya beli—semuanya terkait erat dengan dinamika ekonomi global.

Dalam menghadapi perang dagang global ini, bangsa kita harus berhenti jadi penonton. Kita harus membangun kemandirian ekonomi, memperkuat sektor produksi, dan tidak lagi bergantung pada ekspor bahan mentah. Perang ini bukan lagi soal siapa yang punya kekuatan, tapi siapa yang paling siap.

Jadi, suka tidak suka—perang ini sudah dimulai. Dan hanya yang adaptif, kuat, dan berdaulat yang akan menang.

*** Mega/Benny

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *